Istilah

Penggunaan istilah yang benar oleh praktisi Aikido sering diremehkan, sehingga ada banyak poin-poin yang seharusnya menghasilkan pemahaman malah berujung pada kesalahpahaman, beberapa contoh:

1. Sensei = penyandang sabuk hitam >> salah. Predikat sensei melekat pada semua bidang profesi dan diberikan oleh khayalak luas kepada seseorang yang memiliki keahlian dan berprofesi di bidang tersebut, contoh: ahli bedah, komikus, profesi kepelatihan/pengajar, ilmuwan dalam suatu riset tertentu. Predikat sensei secara harafiah diartikan sebagai “Ia yang lebih dulu tahu”. Kasus salah ketik: sinse, shinse, sense, sensey.

2. Senpai (senior). Predikat yang melekat kepada siapapun yang merupakan senior anda dalam satu bidang profesi, istilah ini umum digunakan diantara siswa sekolah, atau lingkup bidang profesi. Kasus salah tulis: sempei, sempay, simpe, simpei, simpey.

3. Kohai (junior). Sering diartikan sebagai “murid”, padahal istilah ini berarti seseorang yang baru mulai belajar/bekerja setelah anda sudah berkecimpung di tempat/bidang itu terlebih dahulu. Kasus salah ketik: kohay, kohei, kohey.

4. Koshi = pinggang >> salah. Sistem anatomi dalam beladiri Jepang agak berbeda dengan dunia kedokteran barat. Yang dimaksud koshi bukanlah pinggang saja, tapi keseluruhan punggung bagian bawah dan pinggang bagian samping.

5. Kata (bahu). “Kata” merupakan sebutan untuk bagian bahu, tapi ada banyak praktisi yang melakukan pegangan “sode” (lengan baju) ketika perintah “kata-dori” disebutkan.

6. Tenbin = otot tricep >>> salah. Karakter kanji “tenbin” merujuk pada mekanika teknik “tenbin-nage” yang menyerupai timbangan.

7. Hiji-kime = hiji-shime >> salah. “Kime” dan “Shime” adalah dua kata berbeda dengan makna yang berbeda. “Kime” berarti “mengambil keputusan dalam situasi mendesak”, secara biomekanik merujuk pada kontraksi otot secara isometrik. Sedangkan “Shime” atau terkadang diucapkan “Jime”, berarti “menutup”, merujuk pada bentuk teknik dimana kita menggunakan lengan kita untuk menutup bagian siku lawan.

8. Irimi = keluar dari garis serangan >> salah. “Irimi” terdiri dari dua kata, yaitu “Ireru” yang berarti masuk, dan “mi” yang berarti badan. Secara harafiah dapat diartikan sebagai “memasuki area badan”, atau “badan yang bergerak masuk” dengan demikian poin yang sebenarnya dari “irimi” bukanlah menghindari serangan, tapi memasuki area terdalam lawan yang tidak terhitung sebagai jarak serang.

Penggunaan istilah mungkin hal yang remeh bagi pemula, namun bagi praktisi tingkat lanjut, penggunaan istilah yang salah dapat berujung pada kesalahan pemahaman teknik yang fatal.

Usaha saya untuk selalu menggunakan pemahaman istilah yang benar berawal dari pertemuan saya dengan seorang Aikido-ka dari Italia, seorang san-dan yang kebetulan berguru langsung di bawah seorang shihan. Waktu itu saya dikoreksi dengan sangat tegas atas kesalahpahaman saya terkait dengan “tenbin-nage”, dimana saya mengira teknik tersebut adalah teknik yang menyerang otot tricep lawan, padahal nama teknik tersebut mengacu pada mekanika tekniknya.

Dari pengalaman pribadi, pemahaman istilah yang tepat sangat memudahkan praktisi dalam mempelajari teknik dan mengembangkannya lebih jauh, oleh karena itu hal ini sebaiknya tidak dianggap enteng, terlebih bagi para praktisi tingkat lanjut.


Dojo Lain: Antara Ego dan Mencari Ilmu

Sebagai instruktur yang mengampu sebuah dojo, saya sering dimintai izin oleh para murid ketika mereka ingin berlatih di dojo lain, dimana sesuai dengan peraturan organisasi, bahwa berlatih di dojo lain harus sepengetahuan instruktur kepala dan instruktur dojo asal. Tentu saja izin ini dengan mudah saya berikan, karena saya sendiri memiliki pengalaman yang menyenangkan ketika kita bisa menyambangi banyak dojo untuk berlatih. Berlatih di dojo lain, adalah salah satu cara bersosialisasi, serta metode musha shugyo modern.

Bagi mereka yang masih berada di fase beginner, berlatih di dojo lain bermanfaat untuk menambah wawasan dan melatih mereka untuk mampu berpikir kritis. Bagi para praktisi senior, cara ini menjadi sarana untuk berbagi pengetahuan, serta membiasakan diri untuk selalu mampu beradaptasi dengan situasi yang berbeda.

Satu hal yang disayangkan, seiring berkembangnya sebuah organisasi, ada sebagian kecil praktisi senior yang memiliki pemikiran sempit dengan tidak mengizinkan para juniornya berlatih di dojo lain, dimana sebenarnya fase ini tetap dibutuhkan agar mereka tidak menjadi praktisi dengan pikiran sempit dan fanatik. Sebagian terlalu khawatir bahwa muridnya akan melakukan kesalahan di dojo lain, dimana hal ini sudah pasti terjadi karena perbedaan pendekatan latihan setiap dojo, sebagian terlalu angkuh dan merasa paling pintar sehingga muridnya dirasa tidak perlu mencari ilmu di tempat lain, sebagian sangat disayangkan tidak mempercayai kemampuan muridnya untuk beradaptasi di tempat lain.

Saya sendiri secara objektif mengakui kepada para kohai bahwa saya tetaplah seorang manusia biasa, bahwa sebaik apapun skill yang saya punya, itu tetaplah tidak lengkap, maka dari itu saya mendorong mereka untuk berlatih juga di dojo lain, untuk menimba ilmu dari instruktur lain dan pengalaman baru dengan orang-orang baru.

“Beda sensei, beda detail teknik” hal itu yang sering saya tekankan pada para kohai, bahwa setiap praktisi, sesuai dengan pengalamannya, memiliki pengetahuan yang berbeda-beda, sehingga saya harapkan para kohai bisa mempelajari hal-hal baru yang dapat memperkaya pengetahuan mereka juga.

Namun, hal ini bukannya tidak beresiko, untuk bisa melepas seorang murid untuk menimba pelajaran di tempat lain, seorang guru tentunya harus memastikan bahwa sang murid memiliki dasar yang cukup kuat, sehingga proses ini dapat memberikan dampak positif bagi si murid, bukannya malah memberikan dampak yang buruk, seperti contohnya kebingungan yang terjadi karena perbedaan detail antara satu instruktur dan yang lainnya, atau pola struktur latihan yang berantakan karena si murid mencampurkan berbagai detail teknik yang sebenarnya tidak ia perlukan.

Musha shugyo di dunia modern sebenarnya justru bertujuan untuk mengasah dan menjajal skill non-teknik, yaitu kesabaran, sifat kritis, kemampuan observasi dan adaptasi, kejujuran, keterbukaan, kerendahan hati, serta kesungguhan belajar, karena ketika seorang Aikido-ka mengunjungi dojo lain untuk menjajal kemampuan tekniknya, maka ia kembali masuk ke ranah kompetisi yang dijauhi oleh O-sensei, ego kembali diumbar, dan alih-alih menuju pada harmoni, ia akan kembali terjebak dalam ego-nya sendiri untuk menjadi “yang terkuat” atau “yang terbaik”.

Sebagai pelatih, saya tidak merasa sebagai yang terbaik, adapun saya berusaha semaksimal mungkin memastikan bahwa saya tidak akan menjerumuskan para kohai, saya mendukung mereka yang senang mengisi waktu luangnya dengan berlatih di dojo lain dan menganjurkan mereka untuk bisa memperoleh poin-positif dari tempat yang mereka datangi. Adapun demikian, saya menyadari bahwa kultur di setiap dojo pasti berbeda, sehingga perlu ditekankan kepada mereka untuk senantiasa mau beradaptasi dengan lingkunga dan menerima masukan yang datang dari pihak lain, jika tidak, bagaimana anda bisa mengisi cangkir yang sudah penuh?


Aikido dan Kebugaran

Saya menulis artikel ini berdasarkan pengalaman pribadi ketika berlatih dengan sesama praktisi. Dimana saya dan beberapa rekan mengira bahwa sensei sudah meneriakkan “yame”, sementara saya dan beberapa teman sedang asyik membantu salah satu kohai kami menggodok teknik.

Dari belasan peserta latihan, kami berempat mampu berlatih secara konstan, dimana rekan-rekan yang lain sudah terduduk dengan nafas terengah-engah. Sensei mempersilahkan kami untuk melanjutkan latihan, karena peserta lain duduk semata karena mereka sudah kelelahan.

Berapa banyak dari anda sesama praktisi yang mengalami hal ini? Saya pribadi sangat menyayangkan jika seorang praktisi memiliki stamina yang berada jauh di bawah standar, karena disaat kita memasuki level yudansha, maka disaat itu pula lah tuntutan untuk belajar lebih banyak pun meningkat.

Adalah lumrah terjadi di Indonesia, ketika seorang shodan(dan-1) terpaksa harus menjadi instruktur, dimana sebenarnya, secara tradisi beladiri di Jepang, seseorang berhak menjadi asisten dari sensei-nya ketika ia minimal berada di level sandan (dan-3). Dengan demikian, di Indonesia, bagi seorang shodan, kesempatan untuk belajar otomatis berkurang ketika ia mulai menyandang sabuk hitam. Hal ini diperparah dengan salah persepsi yang umum terjadi di kalangan yudansha junior. Menjadi penyandang sabuk hitam seolah mendapatkan previlese untuk mengurangi porsi latihan, boleh datang terlambat, boleh hanya menjadi nage, boleh tidak ikut pemanasan, dll., sementara detail-detail kecil yang bisa memperkaya kualitas latihan, justru ada di hal-hal yang biasanya kita pangkas.
Ada satu ungkapan yang beredar di kalangan praktisi beladiri lain, bahwa definisi Aikido-ka adalah sekumpulan orang-orang obesitas dan penyakitan, yang berkhayal bahwa mereka punya kemampuan beladiri. Saya akui, hal ini sedikit banyak benar. Sangat sedikit Aikido-ka yang saya kenal, yang juga menyertakankan kebugaran dan kesehatan fisik dalam latihannya, kita hanya berfokus pada kualitas teknik saja, sementara kita lupa, untuk mengasah kemampuan, durasi waktu dan kemampuan untuk memanfaatkan waktu tersebut secara efisien juga dibutuhkan. Kita ingin punya teknik yang canggih, tapi dalam kurun waktu sekitar dua jam berlatih, satu jamnya kita gunakan untuk duduk dan mengembalikan nafas yang sudah kepayahan, lalu kapan teknik yang canggih itu akan tercapai?
Stamina dalam berlatih Aikido sangatlah penting, karena stamina dibutuhkan saat memproses memori otot melalui gerakan dan kontak fisik yang dilakukan berulang kali. Adapun demikian, otot (muscles) bukanlah aspek fisik yang diutamakan untuk dilatih di Aikido, karena pada prinsipnya, Aiki bukanlah sesuatu yang dicapai dengan memanfaatkan tenaga fisik yang berasal dari otot, dan disinilah semua salah kaprah dimulai.
Meminimalisir penggunaan otot dan tenaga fisik bukan berarti tidak menggunakan keduanya sama sekali, otot dan tenaga fisik tetap terpakai setiap kali kita bergerak, dan untuk tetap bisa berfungsi dengan baik maka otot perlu dilatih. Sekali saya mengutip dari Vladimir Vasiliev, praktisi beladiri dan instruktur terkemuka dari Systema: “jika otot terlatih, maka usianya menjadi lebih panjang”. Untuk informasi, Systema yang saya tahu, sama sekali tidak menggunakan tenaga dari otot, sistem ini bahkan menurut saya jauh lebih lembut dibandingkan Aikido, namun tetap saja, fisik perlu dilatih dengan tujuan agar seorang praktisi bisa terus menerus berlatih.
Menurut fitness trainer saya, usia bukanlah faktor yang menentukan kemampuan fisik manusia. Dengan berlatih fitness hampir setiap hari serta tiga aliran beladiri dalam seminggu, saya berhasil membuktikan kepada diri saya sendiri bahwa teori tersebut benar. Dengan keseharian yang sama, adalah hal yang cukup berat bagi saya untuk berlatih Aikido empat hari dalam seminggu, sedangkan saat ini, saya melakukan latihan fisik yang kuantitasnya dua kali lipat lebih banyak tanpa kesulitan.
Dulu saya berpikir bahwa kemampuan fisik saya sudah menurun seiring usia, ternyata tidak, kemampuan fisik saya justru menurun karena saya tidak pernah melakukan latihan fisik.
Kondisi jaringan otot akan terjaga, bahkan menjadi lebih baik dan efisien jika dilatih. Demikian juga dengan persendian tulang cairan pelumas yang dibutuhkan persendian, akan terus diproduksi oleh tubuh selama persendian mendapatkan rangsangan berupa gerakan yang dilakukan secara konstan dan berkala. Kepadatan tulang juga hampir sepenuhnya bergantung pada aktivitas olahraga, karena kepadatan tulang akan terangsang jika ia berada dalam tekanan aktivitas fisik, bukan susu.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah diet, perlu dicatat, bahwa definisi dari diet bukanlah mengurangi konsumsi makanan, melainkan pengaturan waktu makan dan apa yang kita makan.
Dalam dunia kesehatan, dikenal beberapa alat yang mampu secara sederhana menentukan usia fisik kita, idealnya, usia fisik dan umur seharusnya tidak terpaut selisih yang terlampau jauh, sekitar lima tahun lebih tua adalah batas yang cukup ditolerir. Di umur saya sekarang ini, usia fisik saya tiga belas tahun lebih muda. Menurut trainer saya, ini adalah pencapaian yang hanya bisa dicapai dengan diet yang baik dan pola istirahat yang berkualitas: memperhatikan kualitas asupan makanan, tidak merokok, tidak minum minuman beralkohol, serta pola istirahat yang baik telah membuat fisik saya tiga belas tahun lebih muda.
Dengan usia fisik yang lebih muda, maka kemampuan untuk beraktivitas pun meningkat, ini berdampak langsung pada latihan, dimana kualitas teknik juga akan terus meningkat dikarenakan kuantitas serta kualitas yang bisa kita curahkan dalam latihan. Perlu dicatat juga, bahwa jika kita hendak menggiatkan latihan fisik untuk menunjang latihan Aikido, maka jenis latihan yang diperlukan lebih berfokus pada memperpanjang usia otot dan meningkatkan stamina, sedangkan jenis latihan seperti bodybuilding yang berlebihan akan mengurangi fleksibilitas yang tetap dibutuhkan dalam latihan Aikido.
Latihan cardio seperti jogging atau treadmill cukup dianjurkan, terutama jika kita memiliki masalah berat badan. Memaksimalkan fungsi jaringan otot juga akan membantu seorang Aikido-ka untuk mampu mendorong fisiknya ke ambang batas, jadi otot tetap perlu dilatih, push-up, sit-up, squat, serta pull-up yang dilakukan secara berkala akan melatih otot kita untuk dapat difungsikan secara maksimal, tentunya dengan tetap mempertahankan konsep rileks.
Satu hal yang saya temukan setelah menambah porsi latihan fisik adalah: kemampuan fisik tidak dibatasi oleh usia, melainkan, ia dibatasi dengan rasa malas.


Latihan bersama Systema dan Aikido

20140627-050311-18191339.jpg

Acara ini diadakan dengan tujuan untuk menjalin silaturahmi dan komunikasi lintas disiplin ilmu beladiri di Jogja khususnya.

Kami berharap acara ini dapat menjadi contoh kerukunan antar komunitas yang berbeda, yang kemudian lebih lanjut menjadi contoh dalam hidup bermasyarakat.

Bagi para praktisi beladiri, ini adalah kesempatan untuk menambah pengetahuan, memperluas wawasan, mengecap kembali pengalaman sebagai pemula, serta tentunya memperluas lingkaran sosial.

Mari bergabung dan bersenang-senang bersama kami. Acara terbuka untuk umum, baik bagi praktisi maupun non-praktisi.


Got stuck? Think simple, back to basic

Sebagai instruktur, ada rasa was-was ketika tiba waktunya kita mengajukan murid untuk menempuh ujian, terutama ketika kita mendapati bahwa kemampuan mereka tidak memenuhi standar materi yang diujikan.

Mendekati hari ujian kenaikan sabuk, saya berterus terang kepada kohai-kohai saya, bahwa saya mendapati standar teknik mereka mulai menurun, dibandingkan dengan standar yang pernah mereka jalankan di ujian kenaikan sabuk sebelumnya.

Berkaca pada diri sendiri, saya berusaha mencari tahu kemungkinan-kemungkinan apa saja yang menjadi kesalahan saya sebagai instruktur dalam menjalankan kelas. Dari jejak rekam pengalaman pribadi serta membandingkan diri saya di masa lalu dengan kohai-kohai saya sekarang ini, ada satu persamaan yang kemudian saya temukan: standar kualitas akan menurun jika fundamental latihan dikesampingkan.

Saya sempat melewati masa-masa jenuh akan fundamental, dimana daya tarik latihan sepenuhnya ada di latihan waza, maka tandoku-dosa (latihan tunggal, beberapa diantaranya yang paling dasar meliputi kokyu, aiki-taisoashi & te-sabaki, serta ukemi) pun dikesampingkan, saya sering sengaja datang terlambat, untuk menghindari sesi pemanasan, dimana sebenarnya ini adalah kesalahan terbesar dalam latihan yang bisa kita lakukan. Bertolak dari situ pula lah saya mendapati pengetahuan teknik saya bertahun-tahun “mentok”, saya fasih akan teknik, tapi kosong akan makna latihan.

Dari situ pula, satu persatu hambatan mulai saya temukan, jangankan membayangkan bagaimana waza dapat dipraktekkan untuk membela diri, teknik saya hanya bisa dilakukan dengan teman satu dojo yang terbiasa berlatih bersama, tapi ketika saya berlatih di dojo lain, atau bertemu dengan praktisi beladiri lain, saya adalah nol besar yang tergores tipis diatas kertas.

Menyandang sabuk hitam, bukan berarti berhenti belajar, tapi ketika seluruh silabus dari kurikulum sudah dihafal, apa lagi yang bisa kita lakukan? Satu hal yang saya temukan dalam latihan adalah, ketika saya berlatih secara lengkap, maka kualitas teknik dengan mudah (setidaknya) terjaga, maka saya pun melakukan hal yang berlawanan dari apa yang biasanya dilakukan para instruktur di  dojo  lain:

1. Datang lebih awal

Adalah satu dari pelanggaran etika dalam budo, ketika seorang kohai datang latihan terlambat, jangankan dibanding sensei-nya, ia bahkan harus datang lebih awal dari senpai-nya. Namun sebagai instruktur, saya terbiasa datang lebih awal dan menyiapkan dojo bagi para kohai, selain memberi contoh (walaupun sangat jarang orang Indonesia bisa belajar dari contoh), ini menjamin saya bisa menjalankan latihan secara lengkap.

2. Belajar dari dasar

Ketika seorang aikido-ka menyandang sabuk hitam, etika sebagai shodan adalah “mulai belajar”. Salah satu kekurangan dari etika beladiri lokal adalah, seseorang dianggap mumpuni ketika ia sudah menyandang sabuk hitam. Khususnya dalam beladiri Jepang yang eksis di Indonesia, gelar sensei sayangnya sering disandang dengan kesombongan, sehingga dalam sesi latihan, seorang sensei tidak lagi berlatih.

Kebalikan dari ini, saya merasa posisi saya sebagai instruktur adalah beban tersendiri, karena ketika saya harus senantiasa menyuntikkan ilmu kepada para kohai, saya hampir tidak mendapat porsi untuk turut berlatih dalam satu sesi latihan. Tapi dibalik ini semua, adalah satu keheranan tersendiri ketika saya masih bisa setidaknya mempertahankan kualitas teknik yang bahkan belum bisa diserap sepenuhnya oleh para kohai. Hanya ketika kemudian saya melihat beberapa kohai pemula yang mengalami peningkatan kualitas yang cukup signifikan, barulah saya menyadari kesamaan diantara saya dan mereka, yaitu, kami menjalani latihan secara lengkap, dari peregangan di awal hingga za-gi kokyu-ho di akhir latihan.

3. Latihan fisik

Latihan fisik adalah hal yang paling tidak pernah dilatih di aikido. Persepsi bahwa dalam latihan penggunaan otot harus diminimalisir berujung pada praktisi yang lemas dan tidak bertenaga, dimana sebenarnya latihan bertujuan untuk membangun fisik yang sehat, otot yang rileks namun teknik yang tetap memiliki kekuatan.

Adalah sindrom yang umum diderita para yudansha, yaitu kami terbiasa akan sesi dojo  yang hanya menempatkan kami dalam posisi mengajar, sehingga berlatih dengan tempo yang konsisten adalah hal langka, yang kemudian membuat kami “quit even before it finish”. Jangan heran ketika anda berlatih dalam kelas yang diisi oleh banyak praktisi yudansha, kemudian mereka bahkan sudah duduk seiza sebelum instruktur meneriakkan “yamete“. Sesungguhnya kami memiliki daya tahan fisik yang payah karena tidak pernah ikut berlatih ketika sesi dalam dojo berlangsung.

Hal ini pulalah yang membuat saya merasa perlu berlatih murni secara fisik. Ada satu kutipan dari Vladimir Vasiliev, instruktur terkemuka dari Systema: “Ketika otot terlatih, maka daya tahannya meningkat dan usianya pun menjadi lebih panjang”, sebuah ungkapan yang sepertinya bertolak belakang dengan metode Systema yang sepenuhnya rileks. Namun sesungguhnya ketika kita berlatih murni secara fisik, maka vitalitas dan stamina pun meningkat, otomatis pula, salah satu tujuan latihan, yaitu kesehatan pun tercapai. Manfaat dari latihan fisik bagi seorang aikido-ka bukanlah kekuatan otot yang bisa terapkan dalam teknik, namun daya tahan serta stamina yang bisa membuat kita berlatih lebih lama dan lebih fokus.

4. Menjaga kesehatan

Sebagai seorang instruktur, berapa dari anda yang memperhatikan pola makan dan istirahat? Dari lebih dari sepuluh  dojo yang berada di bawah pengawasan organisasi saya, mungkin tidak lebih dari lima instruktur yang memperhatikan kesehatannya, ini pula yang menempatkan aikido dalam salah satu jajaran ilmu beladiri yang paling tidak sehat. Kita adalah satu dari aliran-aliran ilmu beladiri yang dipenuhi oleh praktisi-praktisi gemuk dengan resiko penyakit kronis. Bagaimana dengan Jepang sendiri? Tidak usah ditanya, negeri asal aikido  ini mengevaluasi keshatan seluruh warganya setiap tahun, bisa dibilang setiap tahunnya seluruh penduduk Jepang wajib melakukan medical check-up di posyandu.

Bertolak dari sini, gaya hidup adalah salah satu hal yang sangat saya pertimbangkan, sebagai praktisi, adalah sudah seharusnya kita menjalankan gaya hidup yang sesuai dengan profesi, maka dari sini pula lah saya menjalankan diet yang yang seimbang, walaupun pola istirahat masih berantakan, setidaknya satu dari PR saya sudah beres. Ini juga yang bisa menjamin kita dapat berlatih hingga hari tua, untuk terus belajar dan bisa meneruskan ilmu ke generasi selanjutnya.